Menteri Riset & Teknologi / Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek / BRIN), Pa Bambang Brodjonegoro memaparkan penyebab minimnya riset dan inovasi teknologi di dalam negeri yang berdampak pada melambatnya perekonomian.
Pa Bambang mengatakan kendala pertama adalah minimnya kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) baik dari segi kualitas maupun kuantitas dibandingkan dengan negara maju.
“Baik dari segi kualitas belum standar dibandingkan dengan perkembangan negara maju. Kita bicarakan peneliti dengan kualifikasi doktor, rasio SDM, peneliti terhadap populasi dan produktivitas peneliti,” kata Pa Bambang kepada awak media. di Kantor Badan Pengkajian dan Penelitian (BPPT).
Pa Bambang juga mengatakan, anggaran riset Indonesia saat ini mencapai 0,25 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini jauh dibandingkan dengan Korea Selatan yang mencapai 4 persen dari PDB.
Pa Bambang mengatakan, minimnya anggaran dari PDB diperparah dengan fakta bahwa 80 persen anggaran penelitian bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Perusahaan swasta hanya berkontribusi 20 persen dari anggaran. Padahal, bagi Pa Bambang, perusahaan berperan penting dalam melakukan penelitian yang dapat menjawab kebutuhan pasar. Hal ini dikarenakan perusahaan dianggap mengetahui situasi dan kondisi pasar.
“Dengan anggaran minimal 80 persen dari APBN. Hanya 20 persen dari swasta. Pemerintah terlibat dan sibuk meneliti di sini,” kata Pa Bambang.
Pa Bambang mengatakan perseroan mampu melakukan penelitian yang tepat sasaran, berdampak ekonomi dan mampu menjawab kebutuhan pasar.
Berbeda dengan Indonesia, anggaran riset Korea Selatan, Jepang, dan Thailand justru didominasi swasta.
“Beda dengan Jepang, Korea, Thailand yang didominasi swasta, 70 hingga 80 persen. Itu ideal karena perusahaan tahu kebutuhan di pasar yang butuh riset dan inovasi,” kata Pa Bambang.
Diskusi tentangpost ini